Menyikapi Penggunaan Bahasa Indonesia Gaul di Dunia Pendidikan
Dewasa ini, keprihatinan terhadap
pemakaian Bahasa Indonesia yang baik dan benar semakin meningkat. Memang
data penelitian terhadap gejala ini tidak disertakan. Namun sebagai
seorang guru, saya menangkap fenomena ini sekaligus dapat merasakan
keprihatinan yang sama bersama rekan-rekan guru lainnya di berbagai
belahan bumi nusantara.
Idealnya, bangsa Indonesia dari
segala generasi harus mampu menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan
benar, baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini sangat penting,
mengingat Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang memersatukan
negeri ini. Otomatis, bahasa nasional ini harus dipakai dalam segala
kegiatan yang bersifat formal dan kelembagaan, termasuk segala kegiatan
di bidang pendidikan. Namun kenyataan yang terjadi adalah bahasa gaul
yang seharusnya hanya menjadi bahasa pergaulan telah masuk ke ruang
praktis pendidikan. Artikel “Parah, Bahasa Gaul Zaman Sekarang Membuat Anak tidak Bisa Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar”
mewakili fenomena yang terjadi di dunia pendidikan bangsa kita
belakangan ini. Penggunaan bahasa tidak resmi dalam aktivitas berbahasa
seperti menulis dan berbicara menjadi sebuah hal yang kerap ditemui di
ruang kelas. Di atas lembar jawaban ulangan dan dalam presentasi di
depan kelas bahasa gaul masih menjadi raja.
Sebuah pepatah mengatakan “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”. Daripada kita mengutuk kegelapan dengan terus-terusan menyalahkan kaum alay yang
merusak sistem tata bahasa kita melalui ‘kreativitas’ mereka atau
dengan terus-terusan menggerutu lantaran generasi muda kita menulis dan
berbicara ala gaul di tengah acara formal, sebaiknya kita
menyalakan lilin dengan berbuat sesuatu. Pertanyaan selanjutnya adalah
(1) Siapa yang dimaksud dengan ‘kita’? dan (2) Apa yang bisa kita
perbuat? Bagaimana caranya? Berikut akan disampaikan alternatif jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pertama, yang bertanggung jawab
untuk menunjukkan sikap yang positif terhadap permasalahan ini adalah
orang tua, guru, dan pemuka agama. Dalam bukunya yang berjudul Walking with God in the Classroom, Van Brummelen mengemukakan adanya tripod dalam dunia pendidikan. Ketiga kaki tripod tersebut
adalah orang tua, guru, dan gereja (karena buku ini adalah buku
pendidikan Kristen). Saya setuju sekali dengan Van Brummelen bahwa
ketiga kaki tersebut merupakan pendiri dari fondasi pendidikan yang
paling kokoh. Ketiganya memiliki pengaruh yang kuat.
Berkaitan dengan permasalahan penggunaan
bahasa sebagai topik diskusi kita, maka orang tua memiliki peran yang
sangat kuat dalam pemakaian bahasa karena orang tua adalah sosok yang
seharusnya paling dekat secara psikologis dengan anak. Atau jika tidak
dekat sekali, paling tidak dapat memengaruhi secara psikologis sebab
mereka tinggal bersama dalam satu atap dalam kesehariannya. Guru juga
memegang peranan yang sangat penting. Bayangkan, waktu yang dihabiskan
oleh seorang anak sebagai siswa di sekolah adalah sekitar enam sampai
sembilan jam per hari. Selain itu guru juga biasanya disegani oleh anak
didik. Maka tak heran jika guru memiliki pengaruh yang kuat dalam
mengubah perilaku atau bahkan karakter seorang anak didik. Dan yang
terakhir adalah pemuka agama (saya tidak akan mempersempitnya sebagai
pemuka agama tertentu, sebab Indonesia dimiliki oleh jutaan penduduk
yang memeluk agama yang berbeda-beda). Pemuka agama memegang peranan
yang begitu penting. Di negeri yang sebagian besar penduduknya masih
memiliki iman kepercayaan terhadap agama tertentu pemuka agama sangat
dihormati dan dianggap dapat menjadi teladan yang hebat.
Kedua, yang bisa kita perbuat
dan caranya tentu berbeda-beda sesuai dengan peran kita sebagai orang
tua, guru, atau pemuka agama. Sebagai orang tua, tentunya kita bisa memberi
himbauan kepada anak-anak kita supaya bisa menerapkan aturan dalam
penggunaan bahasa di rumah. Maka peraturan yang bisa diterapkan adalah
penggunaan Bahasa Indonesia yang santun dan situasional.
Memang tidak perlu formal supaya tidak kaku, namun di sisi lain
sebaiknya menghindari penggunaan bahasa gaul yang dianggap kurang sopan.
Contoh nyatanya adalah penggunaan loe, gue, nyokap, bokap, dll. Yang terpenting dan harus dilakukan oleh orang tua adalah mengkritisi dan memberi pemahaman yang benar ketika ada orang yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Misalkan ketika menonton TV kemudian ada pidato bapak menteri yang
lebih banyak menggunakan istilah gaul dan Bahasa Inggris pada acara
kenegaraan.
Sebagai seorang guru, peran kita akan
dituntut lebih lagi. Ini menjadi PR bagi semua guru tanpa terkecuali,
baik guru Bahasa Indonesia maupun bukan Bahasa Indonesia. Bertolak bahwa
secara etimologis kata ‘guru’ berasal dari digugu lan ditiru maka sudah sepantasnya jika guru harus memberi teladan yang baik. Guru harus mahir menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama di jam-jam sekolah. Selain itu, guru juga harus bisa memotivasi siswa untuk berbuat yang sama.
Di kelas, saya memberlakukan aturan bahwa pelanggaran bahasa akan
berakibat pada adanya konseskuensi yang tergantung pada keputusan kelas
di awal tahun ajaran. Konsekuensi bermacam-macam. Ada yang mendapat PR
tambahan sehingga diharapkan bisa meningkatkan kemampuan berbahasa
Indonesia. Ada pula konsekuensi yang ‘menghukum’ anak untuk membawa
makanan kecil pada jam pelajaran BI berikutnya agar kelas menjadi
semarak. Ternyata hal tersebut berhasil. Siswa saya sesekali memang keceplosan memakai bahasa gaul atau Bahasa Inggris, namun presentasenya dari hari ke hari semakin menurun.
Mirip dengan tugas yang harus dikerjakan
guru, pemuka agama seyogianya juga menggunakan Bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Teladan yang baik akan menghasilkan buah yang baik. Dalam
khotbah, diskusi agama dan kehidupan, serta bedah buku, sebaiknya para
pemuka agama menggunakan bahasa yang baik dan benar. Pemuka agama
juga sebaiknya menjadi orang yang mutakhir dalam perkembangan bahasa
yang dinamis agar tidak ketinggalan jaman dan mampu membawa perubahan
pada karakter generasi muda kita yang cenderung mengalami krisis
kebudayaan ini.
Keprihatinan akan terus menjadi
keprihatinan ketika kita tidak bertindak apa-apa untuk mengubahnya.
Sebaliknya, keprihatinan akan berubah menjadi hal yang positif ketika
kita berani mengambil tindakan nyata untuk berubah. Memang pekerjaan ini
bukan hanya milik orang tua, guru, dan pemuka agama saja. Diperlukan
tindakan semua elemen masyarakat yang bergerak pada perubahan. Semoga
pemikiran ini dapat menjadi bahan refleksi kita bersama, termasuk public figure di negeri ini, yang oleh karena mereka perubahan bahasa juga terjadi.
Sumber: http://bahasa.kompasiana.com
Post a Comment